BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an diwahyukan kepada seorang nabi yang tidak bisa membaca dan menulis, dan kepada bangsa yang buta huruf. Bangsa Arab pada saat diturunkannya al-Qur’an telah mengenal beberapa bentuk kesenian seperti seni sastra, cerita dan peribahasa.
Nabi Muhammad SAW memahami maksud-maksud al-Qur’an atas tuntunan malaikat Jibril A.S. Jika nabi telah mengerti betul makna atau maksud suatu ayat, barulah beliau mengajarkannya kepada para sahabat.
Mempelajari al-Qur’an pada masa nabi tidaklah sulit bagi para sahabat karena mereka mempelajari tafsir al-Qur’an langsung dari Rasulullah. Penafsiran al-Qur’an yang dibangun Rasulullah adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an dan penafsiran al-Qur’an dengan pemahaman beliau sendiri yang kemudian popular dengan sebutan as-Sunnah atau al-Hadist.
Sepeninggal nabi Muhammad SAW belum ada tafsir yang ditulis, penafsiran al-Qur’an berjalan melalui periwayatan. Diantara para sahabat yang paling banyak menafsirkan al-Qur’an adalah Ali bin Abu Thalib dan Ibn Abbas. Pada periode sahabat ini penafsiran terhadap al-Qur’an masih sedikit dan sederhana, sahabat memandang al-Qur’an bukanlah sebagai kitab ilmiyah tetapi sebagai kitab hidayah yang langsung diaplikasikan dalam kehidupan mereka.
Pada masa tabi’in tafsir dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran muhadditsin yang menafsirkan al-Qur’an secara manqul, dan aliran ijtihadiyyin yang menafsirkan al-Qur’an secara ma’qul.
Tafsir yang dinukil dari Rasulullah dan para sahabat tidak mencakup semua ayat al-Qur’an, mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat disaat manusia bertambah jauh dari masa nabi dan sahabat, maka para tabi’in yang menekuni bidang tafsir menyempurnakan dan menambahkan sebagian kekurangan tersebut.
Kemudian datang generasi tabi’ at-tabi’in, mereka meriwayatkan tafsir dari tabi’in dan juga menafsirkan sejumlah kata sulit yang semakin bertambah banyak dengan menggunakan pikiran dan ijtihad mereka sendiri. Demikianlah tafsir terus berkembang dari generasi ke generasi sampai datangnya periode kodifikasi atau pembukuan (marhalah at-tadwin) tafsir al-Qur’an.
Ketika ekspansi Islam ke berbagai daerah semakin luas dan pergaulan umat Islam dengan dunia luar semakin kompleks, umat Islam pun semakin mengenal kebudayaan asing. Mulailah kaum muslimin mempelajari pengetahuan yang dimiliki oleh penganut-penganut kebudayaan tersebut, seperti mempelajari ilmu logika, ilmu filsafat, ilmu hukum dan sebagainya.
Sejak itulah timbul perubahan dalam menyusun kitab-kitab tafsir yang diwarnai oleh berbagai sudut pandang mufassirnya. Tafsir al-Qur’an pada periode ini tidak hanya mengandalkan pada tafsir bi al-ma’tsur, akan tetapi mereka juga mengembangkan tafsir bi al-ra’yi.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir
Kata tafsir secara etimologis berarti menjelaskan(الاٍيضاح) , menerangkan (التبيان), menampakkan (الاٍظهار), menyibak (الكشف), dan merinci (التفصيل).[2]
Sementara secara terminologis tafsir menurut az-Zarkasyi adalah “ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, untuk mengetahui makna-maknanya serta menyimpulkan hukum-hukum dan hikmahnya”.[3]
B. Pengertian Tafsir bi al-Ra’yi
Kata ra’yu dapat diartikan sebagai al-i’tiqad (keyakinan), al-qiyas, dan al-ijtihad. Sedangkan yang dimaksud dengan ra’yu dalam pembahasan ini adalah al-ijtihad.[4]
Dalam bukunya “at-Tafsir wal Mufassirun” az-Zahabi mengatakan bahwa tafsir bi al-ra’yi adalah: penjelasan mengenai al-Qur’an dengan jalan ijtihad, setelah mufassir terlebih dahulu memahami bahasa arab dengan gaya-gaya ungkapannya, memahami lafaz-lafaz arab dan segi-segi dilalah (pembuktian, pendalilan) nya, dan mufassir juga menggunakan syair-syair arab jahiliyyah sebagai pendukung, disamping memperhatikan juga asbabun nuzul, nasikh mansukh dan ilmu-ilmu lainnya yang dibutuhkan mufassir.[5]
Tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir dirayah dan tafsir ma’qul, dengan kata lain tafsir bi al-ra’yi lebih berorientasi pada penalaran yang bersifat aqli (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang menjadi penjelasannya.
C. Ilmu-Ilmu Yang Dibutuhkan Mufassir
Para ulama mensyaratkan bagi mufassir yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yunya beberapa ilmu berikut ini:
1. Ilmu lughah (Pengetahuan bahasa arab).
2. Ilmu nahwu (gramatika bahasa arab).
3. Ilmu sharaf (morfologi).
4. Ilmu isytiqaq (ilmu tentang asal usul kata, etimologi).
5. Ilmu balaghah (retorika) dengan tiga cabang ilmunya, ilmu ma’ani, bayan dan badi’.
6. Ilmu qiraat al-Qur’an.
7. Ilmu ushuluddin (teologi).
8. Ilmu ushul fiqh.
9. Ilmu asbabunnuzul (latar belakang turunnya ayat).
10. Ilmu qasas.
11. Ilmu nasikh dan mansukh.
12. Hadist-hadist yang menjelaskan secara terperinci tentang ayat-ayat al-Qur’an.
13. Ilmu al-mauhibah (jifted knowledge).
Pada hakikatnya ilmu-ilmu yang dibutuhkan mufassir sebelum menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yunya tidak terbatas pada ilmu-ilmu yang disebutkan diatas, melainkan mufassir juga harus menguasai ilmu-ilmu lain seperti sejarah, ilmu sirah nabi dan para sahabat, dan lain-lain.[6]
D. Hal-Hal Yang Harus Dihindari Mufassir Ketika Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Ra’yu
1. Tidak menafsirkan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya.
2. Tidak menafsirkan ayat-ayat berdasarkan hawa nafsu.
3. Tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas bathil dengan maksud menjustifikasi paham tersebut.
4. Tidak menganggap bahwa tafsirnya paling benar dan sesuai dengan kehendak Tuhan tanpa argumentasi yang pasti.[7]
E. Pandangan Ulama Tentang Tafsir Bi Al-Ra’yi
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum tafsir bi al-ra’yi, sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir bi al-ra’yi diperbolehkan, sementara sebagian yang lain menegaskan bahwa tafsir bi al-ra’yi tidak dibolehkan dan haram hukumnya, masing-masing pendapat memperkuat argumennya dengan mengemukakan dalil-dalil.
1. Pendapat Yang Tidak Membolehkan Tafsir Bi Al-Ra’yi
Ulama yang tidak membolehkan penafsiran dengan ra’yu menyebutkan beberapa alasan berikut:
a. Tafsir dengan ra’yu adalah membuat-buat (penafsiran) al-Qur’an dengan tidak berdasarkan ilmu, membuat-buat (penafsiran) al-Qur’an dengan tidak berdasarkan ilmu hukumnya haram, maka tafsir bi al-ra’yi tidak dibolehkan. Firman allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 169:
و أن تقولوا على الله ما لا تعلمون (البقره : 169)
“Dan mengatakan terhadap allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S Al-Baqarah : 169)
b. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam diturunkan kepada nabi Muhammad, dan hanya beliau lah yang berhak menjelaskan kandungan al-Qur’an, firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 44:
و أنزلنا اٍليك الذكر لتبيّن للنّاس ما نزّل اٍليهم (النحل : 44)
“Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (Q.S An-Nahl : 44)
Ayat ini dapat dipahami bahwa selain rasul tidak ada hak sedikitpun untuk menjelaskan makna al-Qur’an.
c. Hadist nabi yang mengharamkan penafsiran bi al-ra’yi:
عن ابن عباس رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه و سلّم أنه قال: من قال فى القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار (رواه الترمذى)[8]
“Dari Ibnu Abbas R.A, dari nabi SAW bersabda: barangsiapa yang berbicara tentang al-Qur’an dengan ra’yunya, maka bersiaplah untuk mendekam di neraka.” (H.R Turmudzi)
Dan hadist nabi yang mengatakan:
عن جندب رضى الله عنه أنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلّم: من قال فى القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ (رواه الترمذى)[9]
“Dari Jandub R.A berkata, Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa yang mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an dengan berdasarkan pada ra’yunya dan ternyata ia benar, maka yang demikian itu tetap merupakan kesalahan.” (H.R Turmudzi)
d. Riwayat para ulama salaf shaleh dari para sahabat dan tabi’in, mereka sejauh mungkin menjauhi pembicaraan mengenai penafsiran al-Qur’an, diantara riwayat-riwayat tersebut adalah:
ما جاء عن أبى مليكة أنه قال: سئل أبو بكر الصديق رضى الله عنه فى تفسير حرف من القرآن فقال: أي سماء تظلنى و أي أرض تقلنى و أين أذهب و كيف أصنع اٍذا قلت فى حرف من كتاب الله بغير ما أراد تبارك و تعالى؟
“Riwayat yang dibawa oleh Abi Malikah, beliau berkata: Abu Bakar Shidiq pernah ditanya mengenai tafsir sebuah huruf dalam al-Qur’an, beliau menjawab: langit mana yang akan kujadikan tempat berteduh, bumi mana yang akan kupijak, kemana aku harus pergi dan apa yang akan kuperbuat, jika aku mengatakan tentang sebuah huruf dalam kitab Allah menurut yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki Allah?”[10]
ما ورد عن سعيد بن المسيب: أنه كان اٍذا سئل عن الحلال و الحرام تكلّم و اٍذا سئل عن تفسير آية من القرآن سكت كأن لم يسمع شيئا
“dari sa’id bin musayyab, sesungguhnya jika ia ditanya tentang halal dan haram ia berbicara, tetapi jika ditanya tentang penafsiran satu ayat dalam al-Qur’an ia terdiam seperti tidak mendengar apapun.”[11]
2. Pendapat Yang Membolehkan Tafsir Bi Al-Ra’yi
Ulama yang membolehkan penafsiran dengan ra’yu menyebutkan beberapa alasan berikut:
a. Banyak sekali nash-nash dalam al-Qur’an yang menyeru untuk melakukan perenungan serta pemikiran (tafakkur), diantaranya adalah:
Firman allah dalam surat Muhammad ayat 24
أفلا يتدبّرون القران أم على قلوب أقفالها (محمد : 24)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci.”
Dan Firman Allah dalam surat ash-Shad ayat 29:
كتاب أنزلناه اٍليك مبارك ليتدبّروا آياته و ليتذكروا أولوا الألباب (ص : 29)
“Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperlihatkan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Q.S shad : 29)
Menurut Zamakhsari Yang dimaksud dengan tadabbur al-Qur’an adalah merenungkan makna-makna yang terkandung didalamnya.[12]
b. Allah memerintahkan kepada manusia untuk mengembalikan segala persoalan kepada ulama yang bisa mengambil dasar hukum pada saat terjadi perbedaan pendapat, firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 83:
ولو ردّوه اٍلى الرّسول و اٍلى أولى الأمر منهم لعلمه الّذين يستنبطونه منهم (النساء : 83)
“Dan jikalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri).” (Q.S An-Nisa : 83)
Makna istinbat pada ayat diatas ialah menggali makna-makna yang mendetail dengan penuh pemikiran, langkah tersebut dapat dicapai dengan jalan ijtihad dan menyelami rahasia-rahasia al-Qur’an.[13]
c. Apabila tafsir bi al-ra’yi diharamkan maka ijtihad pun diharamkan, jika hal ini terjadi akan berdampak terlantarnya banyak hukum, hal seperti ini tentu saja tidak dibenarkan, karena hingga saat ini pintu ijtihad masih terbuka lebar, dan seorang mujtahid tetap mendapat pahala meskipun ia salah.[14]
d. Doa Nabi untuk Ibnu Abbas:
اللهمّ فقهه فى الدّين و علّمه التأويل
“Ya Allah berilah ia pemahaman dalam agama, dan ajarkanlah ia ta’wil.”
Jika ta’wil terbatas hanya pada naql saja maka tidak ada pengkhususan dalam doa Nabi ini. Oleh karena itu yang dimaksud dengan ta’wil dalam doa Nabi ini adalah tafsir bi al-ra’yi dan ijtihad.[15]
3. Bantahan Kepada Pendapat Yang Tidak Membolehkan Tafsir Bi Al-Ra’yi
Kelompok pendukung tafsir bi al-ra’yi mengemukakan bantahan terhadap pendapat yang tidak membolehkan ijtihad dengan beberapa argumentasi yang kuat yang menegaskan kesalahan-kesalahan mereka:
a. Mereka mengatakan bahwa tafsir dengan ijtihad itu tidaklah membuat-buat kalam Allah tanpa alasan, karena hal itu dibenarkan oleh syara’. Rasulullah SAW bersabda:
جعل الله للمصيب أجرين و للمخطىء واحدا
Dalam hadist ini Rasulullah menjelaskan bahwa seorang mujtahid yang melakukan ijtihad bila ijtihadnya kebetulan benar maka ia mendapatkab dua pahala, dan bila ia salah maka ia akan mendapatkan satu pahala. Karena itu bagaimana ia bisa diberi pahala jikalau ia tidak dibenarkan melakukan ijtihad.[16]
Dan perkataan Rasulullah kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ketika Nabi mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya kepada Muadz: “Dengan apa engkau akan menghukumi sesuatu?” Muadz menjawab “dengan kitab Allah”, Nabi bertanya lagi “jika engkau tidak menemukan dalam kitab Allah?” Muadz menjawab “dengan sunnah Rasulullah”, “apabila engkau tidak menemukan juga?” “Maka aku akan berijihad dengan ra’yuku”. Kemudian Rasulullah memukul dada Muadz dan berkata “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah dengan apa yang diridhai Rasulullah.”[17]
b. Mereka mengemukakan “Betul nabi diperintahkan untuk menjelaskan al-Qur’an, namun beliau telah berpulang ke rahmatullah sebelum menjelaskan keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an (secara mendalam). Penjelasan rasul yang telah ada dianggap cukup, sedangkan yang belum beliau jelaskan memerlukan ijtihad dan penggunaan pikiran. Penutup ayat itu sendiri menganjurkan agar bertadabbur dan berijtihad (ولعلّهم يتفكرون) untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an bagi yang mempunyai ilmu pengetahuan.[18]
c. Hadist diatas dibantah kelompok yang membolehkan tafsir bi al-ra’yi, dalam argumentasinya mereka mengatakan bahwa tafsir bi al-ra’yi itu dilarang apabila:
· Menafsirkan ayat-ayat mutasyabih, dan segala sesuatu yang tidak dapat diketahui kecuali dengan jalan naql dari Nabi dan sahabat.
· Penafsiran berdasarkan ra’yu tanpa dalil, seperti penafsiran dengan hawa nafsu.
· Tafsir yang hanya bersandarkan pada substantif bahasa arab, tanpa kembali pada keterangan dari sahabat yang menyaksikan secara langsung turunnya al-Qur’an.[19]
d. Sedangkan dalam riwayat hadist Janjub ada perawi Suhail bin Abi Hazm, dia adalah seorang tukang bicara. Imam Bukhari, an-Nasai, dan Abu Hatim berkata bahwa hadist suhail tidak kuat. Bahkan setelah meriwayatkan hadist ini Tirmidzi berkata: “sebagian ahli hadist banyak membicarakan Suhail bin Abi Hazm.”[20]
e. Terhadap sejumlah atsar sahabat dan tabi’in yang disebut-sebut enggan menafsirkan al-Qur’an semisal Abu Bakar dan Sa’id bin Musayyab, oleh kelompok ini dinilai bukan sebagai larangan melainkan semata-mata karena kehati-hatian (اٍحتياط) yang terbatas pada diri mereka. Maksudnya keengganan mereka bersifat personal, tidak otomatis mengikat orang lain.
Mereka khawatir apabila penafsiran yang mereka lakukan tidak mengenai sasaran yang tepat. Mereka beranggapan bahwa tafsir adalah suatu saksi terhadap Allah bahwa ia menghendaki lafal demikian. Inilah sebabnya mereka mengekang diri karena takut salah. Apabila yakin akan kebenaran ijtihadnya, maka merekapun tidak keberatan.
Dalam hal ini sebagaimana Abu Bakar Shiddiq ketika memberikan fatwa menurut ra’yunya tentang kalalah yang terdapat dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 176:
يستفتونك قل الله يفتيكم فى الكلالة (النساء : 176)
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah.”
Beliau berfatwa dalam hal ini “aku menyatakan menurut ra’yu, bila benar maka dari Allah, dan bila salah berarti datangnya dariku dan dari setan. Kalalah adalah begini… begini…”[21]
Kesimpulan
Setelah membandingkan kedua pendapat dan berbagai alasan, dalam muqaddimah tafsinya Imam Raghib al-Ashfahani mengemukakan, “Sebagian ahli tahqiq menuturkan bahwa kedua pendapat tersebut terlalu berlebihan. Pendapat yang hanya membatasi berdasarkan penukilan dari riwayat saja berarti telah meninggalkan beberapa aspek kebutuhannya. Dan pendapat yang membolehkan siapa saja untuk menyelami al-Qur’an berarti membuka jalan untuk mencampuradukannya.[22]
Pada hakikatnya, perselisihan pendapat tentang hukum tafsir bi al-ra’yi tidaklah menyangkut inti masalah, hanya menyangkut cara pengungkapan (lafadz) saja dan bisa dikompromikan.[23]
F. Macam-Macam Tafsir Bi Al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra’yi terbagi kepada dua bagian, yaitu:
1. Tafsir Mahmud, ialah tafsir yang sesuai dengan bahasa Arab dan gaya-gaya ungkapannya, serta sesuai dengan Kitab dan Sunnah, dan menjaga syarat-syarat tafsir. Tafsir seperti ini dibolehkan.
2. Tafsir Madzmum, ialah tafsir yang tidak mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab, tidak sesuai dengan dalil-dalil syar’i, dan tidak memenuhi syarat-syarat tafsir. Tafsir seperti ini diharamkan.[24]
G. Sumber Kesalahan Dalam Tafsir Bi Al-Ra’yi
Ada dua factor yang menjadi kesalahan tafsir bi al-ra’yi, yaitu:
1. Mufassir meyakini makna-makna tertentu, kemudian mufassir membawa lafadz-lafadz al-Qur’an kepada makna yang dikehendakinya tanpa memperhatikan dalalah makna suatu lafadz.
Sumber kesalahan yang berkaitan dengan masalah ini ada empat macam:
a. Pendapat yang dikehendaki mufassir itu benar, lalu mencari-cari ayat al-Qur’an agar sesuai dengan pendapatnya, padahal ayat tersebut tidak menunjuk kepada makna atau pendapatnya itu, walaupun demikian mufassir tidak menafikan arti dzahir ayat tersebut. Bentuk ini banyak terdapat pada tafsir sufi, seperti penafsiran Abu Abdurrahman as-Sulami pada firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 61:
و لو أنّا كتبنا عليهم أن اقتلوا أنفسكم أو اخرجوا من دياركم (النساء : 66)
Dalam tafsirnya ayat tersebut ia tafsirkan sebagai berikut “Bunuhlah dirimu dengan melawan keinginan hawa nafsunya, dan keluarkanlah kesenangan terhadap dunia dari hatimu.”
b. Makna yang dikehendaki mufassir sudah benar, untuk menjaga makna tersebut mufassir menafikan makna yang terkandung dalam ayat dengan membelokkan makna ayat tersebut sesuai dengan keinginannya. Mereka menganggap makna yang dimaksudkan ayat bukan makna zhahir tetapi makna bathinnya. Seperti tafsir sufi dalam surat al-Baqarah ayat 32:
ولا تقربا هذه الشجرة فتكون من الظالمين (البقرة : 35)
Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menginginkan makna mendekati (memakan) pohon ini yang sesungguhnya, akan tetapi makna yang diinginkan Allah adalah menenangkan keinginan (مساكنة الهمّة) jiwa.
c. Makna yang dikehendaki mufassir sudah salah, lalu mufassir mencari-cari ayat al-Qur’an agar bisa sesuai dengan kehendaknya, padahal makna tersebut tidak terdapat pada ayat tersebut. Dalam hal ini mufassir tidak menafikan makna dzahir ayat. Seperti tafsir sufi yang menganut aliran panteisme (وحدة الوجود), sebagai contoh penafsiran surat al-Muzammil ayat 8 yang dinisbatkan kepada Ibnu ‘Arabi:
و اذكر اسم ربّك و تبتّل اٍليه تبتيلا (المزمل : 8)
Dalam tafsirnya ia berkata “Ingatlah nama Tuhanmu yang tidak lain adalah kamu sendiri, atau kenalilah dirimu sendiri dan janganlah melupakannya, karena hal itu akan menyebabkan Allah melupakanmu.”
d. Makna yang dikehendaki mufassir salah, untuk itu mufassir menafikan makna yang terkandung dalam ayat tersebut, bahkan membelokkannya pada makna yang salah tersebut bukan kepada makna dzahir. Tafsir seperti ini banyak tersebar di kalangan mazhab-mazhab bathil, sebagai contoh sebagian kelompok mu’tazilah ketika menafsirkan lafadz (اٍلى) dalam surat al-qiyamah ayat 22 dan 23:
وجوه يومئذ ناضرة (22) اٍلى ربها ناظرة (23)
Mereka menafsirkan lafaz (اٍلى) sebagai nikmat karena mereka berpendapat bahwa lafaz (اٍلى) adalah bentuk mufrod dari (الآلاء) yang berarti nikmat. Maka makna ayat tersebut bukan menunjukkan arti bahwa orang mukmin akan melihat Tuhan di akhirat, tapi maksudnya “mereka menunggu kedatangan nikmat Tuhannya (Allah).” Penafsiran ini dipengaruhi keyakinan mereka yang tidak mempercayai رؤية الله فى الأخرة.
2. Penafsiran al-Qur’an menurut kecenderungan yang mereka kehendaki, tanpa memperhatikan siapa pembicara (Allah), kepada siapa al-Qur’an diturunkan, dan pada siapa yang diajak bicara oleh al-Qur’an.
Sumber kesalahan yang terkait dengan masalah ini terdapat dalam dua persoalan:
a. Satu lafadz mengandung arti yang dikehendaki mufassir, tetapi makna tersebut tidak dikehendaki oleh ayat. Seperti lafadz (أمة) yang mempunyai beberapa arti, antara lain: jama’ah, jalan yang dilalui dalam keagamaan, dan seseorang yang mempunyai sifat-sifat baik. Seperti penafsiran surat az-Zukhruf ayat 22:
اٍنّا وجدنا آباءنا على أمّة (الزخرف : 22)
Dalam ayat ini lafadz ummah(أمّة) tidak bisa ditafsirkan selain makna jalan yang dilalui dalam keagamaan .(الطريقة المسلوكة فى الدين)
b. Suatu lafadz terkadang ditetapkan untuk satu makna saja, tetapi makna tersebut bukan yang diinginkan ayat, karena yang diinginkan adalah makna lain. Seperti tafsir lafadz (مبصرة) dalam surat al-Isra ayat 59:
و آتينا ثمود الناقة مبصرة (الاٍسراء : 59)
Lafadz (مبصرة) ditafsirkan dengan makna melihat dengan mata, padahal tafsir shahih dari lafadz (مبصرة) adalah onta tersebut merupakan tanda yang bisa memperlihatkan kebesaran Allah, bukan onta yang bisa melihat.[25]
H. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Bi Al-Ra’yi
a. Kelebihan Tafsir Bi Al-Ra’yi
1. Mufassir bisa memberikan cakrawala yang luas dalam menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kondisi dan situasi.
2. Kemungkinan mufasir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat al-Qur’an secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[26]
3. Menjadikan tafsir al-Qur’an dapat berkembang dalam menjawab segala permasalahan yang timbul seiring dengan kehidupan umat islam spanjang masa.
4. Mendorong umat Islam untuk senantiasa berfikir dan bertadabbur atas kebesaran ayat-ayat al-Qur’an, dan tidak lekas menerima apa adanya (taqlid) terhadap tafsir-tafsir ulama salaf.
b. Kekurangan Tafsir Bi Al-Ra’yi
1. Mufasir menjustifikasikan pendapatnya dengan al-Qur’an padahal al-Qur’an tidak demikian.
2. Mufassir akan menafsirkan al-Qur’an dengan penafsiran yang salah, karena kedangkalan ilmu pengetahuan mufassir atau tidak memenuhi persyaratan sebagai mufassir.
I. Kitab-Kitab Tafsir Bi Al-Ra’yi Yang Dibolehkan
1. مفاتيح الغيب – للفخر الدين الرازى
2. أنوار التنزيل و أسرار التأويل - للبيضاوى
3. مدارك التنزيل و حقاءق التأويل – للنسفى
4. لباب التأويل فى معانى التنزيل – للخازن
5. البحر المحيط – لأبى حيان
6. غرائب القرآن و رغائب الفرقان – للنيسابورى
7. تفسير الجلالين – للجلال الدين المحلى و جلال الدين السيوطى
8. السراج المنير فى الاٍعانة على معرفة بعض معانى كلام ربنا الحكيم الخبير – للخطيب الشربينى
9. اٍرشاد العقل السليم اٍلى مزايا الكتاب الكريم – لأبى السعود
BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Setelah mengetahui tafsir bi al-ra’yi dengan segala kelebihan dan kekurangannya, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwasannya problematika kehidupan umat manusia semakin berkembang dan kompleks, sementara tafsir bi al-ma’tsur sangan terbatas, maka untuk menghadapi masyarakat modern yang dinamis ini penafsiran dengan metode bi al-ra’yi atau ijtihad sangat diperlukan, namun tentu saja harus melalui syarat-syarat yang sudah disepakati oleh para ulama, yaitu harus memperhatikan teks-teks al-Qur’an dan hadist yang shahih, juga harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, dan tidak mengikuti hawa nafsu atau kesenangan pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
DEPAG R.I., Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: 2000
Suma, Muhammad Amin, MA, SH, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet 1, 2001.
Az-Zarqani, Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-Irfan Fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1409 H-1988 M, cet. 1.
Faudah, Mahmud Basuni, At-Tafsir wa Manahijuh, Kairo: Mathba’ah al-Amanah, 1397 H-1977 M.
Az-Zahabi, Muhammad Husain, Al-tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Dar al-Hadist, 1426 H-2005 M, jilid 1.
Al-Turmudzi, Sunan Al-Turmudzi, Beirut: Dar al-afikr, 1414 H-1994 M.
Al-Zamakhsyari, al-Khawarizmi, Al-Kasyyaf ‘An-Haqaiq al-Tanzil wa uyun al-Aqawil fi Wujuhi al-Ta’wil,
Beirut: Dar al-Fikr, 1397 H-1977 M.
Al-Shabuni, Muhammad Ali, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1991.
[1] DEPAG R.I., Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: 2000) h. 32.
[2] Prof Dr. H. Muhammad Amin Suma MA. SH., Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), jilid 2, h. 15.
[3] Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Manahil al-Irfan Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1409 H-1988 M), cet. 1 , jilid 2, h. 4.
[4] Dr. Mahmud Basuni Faudah, At-Tafsir wa Manahijuh (Kairo: Mathba’ah al-Amanah, 1397 H-1977 M), h. 1.
[5] Muhammad Husain az-Zahabi, Al-tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo, Dar al-Hadist, 1426 H-2005 M), jilid 1, h. 221.
[6] Ibid., h. 229-232.
[7] Ibid., h. 236.
[8] Abu Isa Muhammad Isa bin Sawad al-Turmudzi, Sunan Al-Turmudzi, (Beirut: Dar al-afikr, 1414 H-1994 M), jilid 4, h. 439.
[9] Ibid.
[10] Az-Zahabi, op. cit., h. 225.
[11] Ibid.
[12] Al-Zamakhsyari al-Khawarizmi, Al-Kasyyaf ‘An-Haqaiq al-Tanzil wa uyun al-Aqawil fi Wujuhi al-Ta’wil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1397 H-1977 M), juz 1, h. 546.
[13] Prof. Dr. Muhammad Ali al-shabuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an (Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1991), h. 158.
[14] Az-Zahabi, op. cit., h. 226.
[15] Ibid., h. 227.
[16] Ibid., h. 222.
[17] Ibid.
[18] Ibid., h. 223
[19] Ibid.
[20] Ibid., h. 224.
[21] Ibid., h. 225.
[22] Al-shabuni, op. cit., h. 164.
[23] Az-Zahabi, op. cit., h. 228.
[24] Ibid., h. 229.
[25] Ibid., h. 241-244.
[26] Prof. Dr. Amin Suma MA., op. cit., h. 93.
[27] Az-Zahabi, op. cit., h. 248.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar